slide show

Thursday, December 18, 2008

Perempuan (EDITORIAL)

Editorial


Perempuan

Kata kunci daripada bulan Desember adalah hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22. Pada hari tersebut sakral artinya bagi perempuan di seluruh Indonesia. Diantara kita banyak yang tidak tahu persis berasal darimana tanggal tersebut. Inilah pengetahuan terbatas peristiwa hari nasional tentang makna ‘”kemerdekaan” perempuan Indonesia.

Berawal dari sebuah kongres di tahun 1928 saat para pemuda mendeklarasikan suatu Sumpah Kebangsaan, Kenegaraan dan Kebahasaan. Ada yang terselip dan hampir dilupakan sejarahnya: Pergerakan Perempuan. Pergerakan saat itu ditandai oleh sebuah desakan agar perempuan memperjuangkan hak-haknya secara bersama.

Pada tanggal 22 Desember 1938 perempuan Indonesia menyatakan dirinya melalui Kongres Perempuan ke III di Bandung. Isinya adalah pernyataan sikap atas kesadaran permasalahan yang kini (tahun 2008) masih punya relevansi: poligami, perdagangan orang, kekrasan, dan buruh perempuan.

Apa jadinya setelah 70 tahun berlalu? Diskriminasi masih terjadi dimana-mana. Dominasi patriarki sebagai simbol kekuasaan laki-laki terhadap perempuan menyeruak dalam kasus poligami dan kekerasan. Perempuan dengan kontruksi budaya dibatasi ruang geraknya selama bertahun-tahun. Keberadaan pergerakan perempuan kian dipertanyakan, apa sesungguhnya makna pergerakan itu?

Lupakan jika perempuan hanya bisa tersinggung dan tercambuk hatinya menerima kenyataan. Atau jangan pernah bermimpi akan lahir Mother Theresa baru pada zaman sekarang yang dalam hidupnya berani melawan arus. Sadari itu.

Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon.

Kantin Harapan Warga Kampus

Kantin Harapan Warga Kampus

Semenjak menempati gedung baru, belum tersedianya kantin di Stikom ditanggapi serius oleh penghuni kampus. Oktrivia (21) misalnya, mahasiswa broadcasting ini mengeaskan kampus harus memiliki kantin. “Selain tempat makan, kantin itu berfungsi sebagai tempat tongkrongan, waktu kampus masih di Lodaya kan tongkrongannya enak, nyaman, dan murah.” Ia berharap kampus segera membangun kantin di dalam kampus.

Tanggapan juga datang dari dosen Stikom. Seperti diungkapkan Pa Ade, dosen sekaligus menjabat program diploma di temui di kantornya Selasa (16/12). Menurut pengakuannya, selama menempati kampus baru di jalan PH. Mustafa ketiadaan kantin di dalam kampus belum menjadi masalah besar. “Saat ini kampus sebaiknya memprioritaskan sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa saja, soal urusan perut kan masih bisa di luar.” Para pedagang di jalan Bekamin justru menurutnya lebih menguntungkan ketimbang di Lodaya. “Jajanan di sini lebih murah,” beliau menambahkan.

Ditemui di tempat terpisah, Rismanto S.pd selaku akademik bidang sarana dan prsarana kampus mengungkapkan keinginan kampus untuk memiliki kantin harus mengikuti prosedural. “Kita memiliki kontrak MOU dengan pihak PT. Pos Indonesia. Perlu dipahami bahwa dalam kontrak bersama PT. POS untuk penambahan bangunan di kawasan kampus perlu dilakukan negosisasi terlebih dahulu. Selain itu pihak yayasan masih memikirkan penambahan bangunan ini. “Jadi, tidak semudah yang kita bayangkan,” tegasnya.

Rismanto yang juga moderator dalam debat mahasiswa RRI mengungkapkan harapannya untuk membangun kantin masih terus dipertimbangkan. “Mahasiswa harus bersabar karena kondisi ini pernah dirasakan bersama. Alangkah baiknya jika suatu saat kesabarn ini akan membuahkan hasil demi kepentingan bersama.” (Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon)

Kampus Tanpa Kantin, Bagaimana Rasanya?

Kampus Tanpa Kantin, Bagaimana Rasanya?

Dibawah teriknya matahari puluhan mahasiswa Stikom terlihat nangkring di jalan Bekamin Senin (15/12). Aktivitas mereka beragam, mulai dari membeli makanan, merokok, duduk berdua, bertiga bahkan berkelompok. Menengok ke dalam, kampus Stikom memang tak memiliki fasilitas kantin layaknya kampus pada umumnya. Yoga, mahasiswa Broadcast, menganggap lalu lalang jalan Bekamin setidaknya “mengobati” ketiadaan kantin di dalam kampus. “Para pedagang yang berjejer disini menjual makanan yang terjangkau untuk ukuran mahasiswa,” ujarnya ditemui di salah satu penjual minuman jalan Bekamin.

Lain dengan Clara, mahasiswa jurusan Public Relations 2007 yang ditemui sedang mengantri batagor, menurutnya Stikom harus punya kantin. “Kalo lagi panas gini kan males juga, apalagi sebagian penjual disini punya tempat terbatas menjamu mahasiswa mengingat pembeli lain juga punya hak yang sama. Kalau bisa secepatnya Stikom punya kantin, tegasnya.

Jalanan Bekamin yang dilalui orang dengan beragam aktivitas terkadang bisa jadi “pemandangan” alami bagi mahasiswa Stikom. Wajar saja, orang yang berlalu lalang sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa dari kampus lain. Ini bisa dipahami karena dibelakang kampus terdapat kos-kosan mahasiswa. Bagi Isma (21) yang menjalani hidup anak kos berharap kantin di Stikom bisa terwujud.

Menurutnya, jajanan di Bekamin masih mahal. Perempuan yang asli bertempat tinggal di Cicalengka ini menginginkan kantin seperti di jalan Lodaya. “Di Lodaya kan kita punya kantin dan harganya murah. Apalagi tempatnya strategis karena rindang!”, ungkapnya.

Pantauan GERBANG di jalanan Bekamin terhadap penjual makanan Senin (15/12) relatif murah. Penjual pecel misalnya, dengan harga Rp. 5000-8.000 saja sudah bisa mendapatkan satu porsi. Pilihan lain seperti nasi padang hanya mengeluarkan kocek Rp. 5.500-9.000 sudah bisa menikmati hidangan khas Padang tersebut. Untuk pilihan minuman, pedagang jus buah bisa jadi alternatif dengan harga berkisar Rp. 2.000-4.000 saja. (Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon)