slide show

Friday, December 5, 2008

Febi : teman, mantan saudara

Proses Wawancara

Hari itu Selasa, 3 Juni 2008 saya beserta seorang teman bernama Fery sepakat untuk menentukan bertemu dengan warga negara asing. Saat itu tepat seminggu menjelang deadline tugas kelompok Komunikasi Lintas Budaya (KLB) oleh seorang dosen bernama Ibu Ira. Berhubung seminggu lalu terhitung sejak tanggal 21 – 25 Mei tugas KLB sengaja saya tunda pengerjaannya karena harus mengikuti Msyawarah Nasional IMIKI (Ikatan Mahasiswa Komunikasi) di Malang. Hehehe...

Untuk mendapatkan (mencari tepatnya...) seorang warga asing ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Buktinya, kami baru bisa melakukan wawancara seminggu sebelum tugasnya dikumpulkan. Usaha untuk mencari sebenarnya ada, seperti menanyakan pada teman yang memiliki teman warga negara asing. Waktu itu teman saya Hadi, yang juga mahasiswa Unpad memberikan bantuan dengan mengirim SMS. Warga negara asing tersebut namanya Ciketso berasal dari negeri Jepang. “Setelah diberikan contact number mahasiswa dari Jepang tersebut seolah memberikan jalan”, pikir saya”. Namun, setelah beberapa kali dihubungi nomor itu error atau sering terdengar suara “telepon yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...”.

Kecewa? Iya juga sich. Usaha lain dicoba dengan mendengarkan saran dari beberapa teman: “dateng aja ke lembaga bahasa, coba cari di UPT bahasa Unpad, kenapa ngga cari ke mall?kita aja dapetnya disana”. Untuk saran yang terakhir perlu berpikir tujuh kali. Macam betul aja nungguin bule di mall dengan situasi tidak saling kenal. Kalaupun kenal, mau pake bahasa apa? Membaca saja sulit. Hehehe...

Beruntung. Iya, makna dari kata itu yang pantas untuk menggambarkan pertemuan saya, fery, dan satu lagi “teman baru” Celio Pezio Brites. Seorang mahasiswa yang berasal dari mantan saudara negara kita, Timor Leste. Awalnya kami tidak secara sengaja bertemu di kampus bernama UNIKOM (Universitas Komputer) Indonesia. Saya dan Fery berangkat dari kampus sekitar pukul 2 siang. Tujuan mencari warga asing mulanya ke CCF (sebuah gedung kegiatan orang-orang prancis) di jalan Purnawarman. Tanpa persiapan dan bermodalkan nekad kami mendatangi gedung itu. Hasilnya, kita diperintahkan untuk membawa surat penugasan dan kalaupun melakukan wawancara harus bisa berbahasa Perancis karena nara sumber yang kami maksud hanya bisa menggunakan bahasa tersebut. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan meninggalkan CCF. Beberapa tempat sempat kami kunjungi seperti kampus Ekstensi sastar di jalan Dago Pojok dan UPT Bahasa Unpad. “Mahasiswanya sedang libur dan artinya nihil untuk mendapatkan wawancara dengan warga negara asing”.

Barulah nasib keberuntungan menaungi kami (saya dan Fery). Setelah ‘berkeliaran’ sejak pukul 2 siang kami sengaja melewati kampus bernama Unikom tadi. Fery, teman saya itu ternyata pernah berkuliah disana sebelum pindah ke Stikom. Mau tau apa yang terjadi?

Fery ternyata sedang berbincang dengan teman-teman sekampusnya dulu. Uniknya, dia berkenalan dengan Celio Pezio Brites yang akrab disapa Febi. Fery bermaksud menanyakan mahasiswa yang berasal dari Timor Leste karena sewaktu kuliah dulu ia punya kenalan mahasiswa dari sana. Lantas Febi yang ternyata mahasiswa dari Timor itu memberikan nomor hape temannya bernama Helder, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional.

Semula kami tak mengira kalau Febi sendiri mahasiswa dari Timor Leste! Hahahahaha...

Teman-teman Febi yang kebetulan saat itu sedang nongkrong mulai menertawakan kami. Bukan merasa tertipu, tapi memang kami yang tidak mau bertanyaJ. “Si Febi teh urang ditu atuuuhh jang,” ( Febi itu orang Timor maksudnya) ujar teman bernama darso. Lantas saya dan Fery berpikir: Kenapa ngga bilang dari tadi?

Saat ditanya seperti itu Feby pun hanya tersenyum. Menurut pengakuannnya dia hanya menginformasikan temannya yang bernama Helder. Meski bukan nggak mau di wawancara Febi ngerasa jawaban atas pertanyaan kami nanti kurang memuaskan. Halahhhh...orang kita bukan mau ngegigit dan pertanyaaannya juga mudah koq. Ya sudah, kita ngobrol dimana? “Di warung kopi saja”. Berikut hasil wawancaranya...


Nah, itu wawancara dengan Febi di Warung Kopi. Ngeceng yang manaa sekarang??

Wawancara yang santai...


Draft wawancara serta jawaban nara sumber:

Sejak kapan sudah datang ke Indonesia serta apakah alasannya?

Sejak tahun 2005 saya sudah kuliah di Bandung dan menetap disini. Tapi, pada tahun 1999 saya pernah berkunjung ke Jakarta dan pada tahun 2004 pergi berlibur ke Bali. Tetapi saya cenderung pergi ke wilayah NTT, karena daerah tersebut merupakan batas terdekat dengan Indonesia yaitu kota Kupang. Selain karena jika pulang ke Timor Leste saya harus mampir di kota itu.

Mengapa harus berkuliah ke Bandung (Indonesia)?

Awalnya saya dapat informasi dari seorang sepupu yang sedang berkuliah di Bandung. Ketika itu saya masih duduk di bangku SMA. “Mendengar kabar itu saya langsung tertarik, karena di sana (Timor Leste) masih belum aman”. “Di Timor sering terjadi konflik, bahkan konflik yang terjadi menurut saya tidak jelas apa keuntungannya”. Fasilitas perkuliahan di Indonesia lebih baik ketimbang di negara kami, bahkan gedung-gedung di negara kami masih belum tertata dengan baik. Kalaupun ada cepat di rusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Iklim di sini lebih nyaman, salah satu faktor yang membuat saya memilih kuliah di Bandung.

Lantas, bagaimana dengan perempuannya?hehe..

Hahaha..saya rasa semua juga tahu rahasia umum tersebut. Memang sudah terkenal cantik-cantik dan ramah.

Boleh diceritakan bagaimana sich negara Timor-Timor eh..maap, Timor Leste itu?

Kalau diceritakan bisa sampe berbusa, tapi ringkasnya begini...

Negara kita sebenarnya merupakan multikultur, terdiri dari berbagai unsur. Sejarahnya Portugis dulu datang ke NTT kemudian baru datang ke wilayah yang dulu bernama Timor-Timur. Singkatnya Portugis yang terkenal dengan misi 3 G (Gold, Glory, Gospel) kalau tidak salah urutannya Hehe... menguasai kami selama beberapa tahun yang kemudian muncul para penjajah baru. Beberapa peninggalannya sampai saat ini cukup banyak, kota Dili misalnya. Kota ini dulunya aman bahkan sebelum perang saudara maupun konflik antar kepentingan yang sampai saat ini sering terjadi. Bagi saya konflik disana sangat tidak membawa keuntungan, beberapa konflik yang terjadi sebetulnya berasal dari perebutan kekuasaan. Kekusaan sangat vital bagi orang yang ingin berkuasa, karenanya beberapa peristiwa yang merenggut nyawa orang tersebut disebabkan oleh tindakan provokasi. Provokasi tersebut meluas hingga terjadi gap. Mungkin bisa di sebut dan kalau anda berkesempatan ke sana pasti akan mengenal istilah kelompok Barat dan kelompok Timur.

Lantas, apakah makna kemerdekaan yang kamu tangkap dengan diakuinya Timor Leste sebagai sebuah negara?

Tepatnya pada tanggal 20 Mei 1999 negara kami merdeka, saat itu di Indonesia masih di pimpin pak Habibie. Mantan presiden tersebut memberikan kesempatan pada Timor-Timor (nama negara sebelum merdeka) yang mayoritas memluk agama Khatolik untuk melakukan pemilihan dan menentukkan dirinya sebagai negara yang utuh. Jelasnya, saat itu kerusuhan di negara kami tidak dapat terelakkan lagi. Mungkin anda ingat dengan tragedi di Atambua atau penyerangan brutal di Dili?

Saya sendiri tidak mengerti dan tidak menyukai situasi di Timor. Setiap setahun sekali saya selalu pulang kampung. Tapi masih ada status darurat sampai sekarang ini. Beberapa hal memang sudah mendingan namun tidak semerta dengan makna merdeka. Kalau saya berpendapat, Timor terlalu tergesa-gesa untuk memerdekakan diri. Alangkah baiknya jika program pemerintah Indonesia seperti otonomi daerah dilaksanakan terlebih dahulu. Setidaknya itu memberikan pelajaran bagi negara kami sebelum melangkah menjadi sebuah negara yang diakui.

Kembali ke pertanyaan yang berhubungan dengan tugas kami. Setelah sesampainya di Bandung (Indonesia), bagaimana perasaan anda?

Singkatnya sama saja alias tidak begitu berbeda dengan bayangan saya. Di sini kondisinya nyaman dan aman selain orangnya juga ramah. Di Bandung sendiri cukup banyak mahasiswa dari Timor, jadi kamipun sering mengadakan perkumpulan. Teman-teman asli Indonesia pun banyak membantu saya.

Pernahkan mengalami kesulitan ketika atau sudah tinggal di Bandung?

Pengalaman menariknya sewaktu ikut Ospekan. Waktu itu tidak ada yang menyangka jika saya orang Timor Leste bahkan teman-teman yang baru berbincang dengan bahasa sunda. Meski bahasa nasional kami bahasa Portugis dan mata uangnya Dollar Amerika tidak membuat saya terlalu grogi karena kami juga pernah merasakan sebagai warga negara Indonesia.

Namun ada satu hal yang membuat saya trauma. Tentara!

Saya trauma karena pada saat SMP sewaktu masih di Timor pernah diburu oleh tentara. Mungkin penyebabnya karena ayah saya seorang politik leader juga. Ayah saya terkena tembakan di bahunya sedangkan saya bersama Om berhasil menghindari penembakan itu. SAMPAI SAAT INI SAYA MASIH HAFAL JELAS WAJAH TENTARA YANG BERNIAT MENEMBAK KAMI. Jika saya melintas di jalan dan tiba-tiba ada tentara, saya selalu menghindar sebisa mungkin. Sampai saat ini.

Pertanyaannya sedikit pribadi: apa yang membuat kamu memilih kuliah di jurusan jurnalistik?

Ayah saya sekarang sebagai dokter umum di sebuah Rumah Sakit nasional di Timor Leste. Sebenarnya saya dianjurkan untuk mengikuti jejak beliau. Tetapi apa daya, pelajarannya sulit dan butuh waktu yang lama. Sempat bertentangan juga sich, tapi jurusan ini setidaknya sesuai dengan keinginan saya.

Meskipun jadi wartawan misalnya, kan sedikit gajinya tuh!hehe..

Mungkin ada benarnya. Tapi saya melihat dari sisi lain, sisi dimana latar belakang kehidupan saya di Timor. Beberapa pemberitaan untuk publik sangat tidak berimbang, berpihak pada satu kutub kekuasaan, dan tidak dengan sesuai dengan kaidah jurnalisme sebagai “orang penengah”. Meskipun misi yang berat serta bertentangan dengan keinginan orang tua, jurnalistik mungkin dapat memberi pencerahan natinya ketika saya kembali ke tanah air Timor tentunya.

Untuk mengurus kewarganegaraan seperti apa yang harus dilakukan?

Setiap bulan sekali saya harus mengurus visa study sedangkan paspor kewarganegaraan dilakukan pendataan setahun sekali di kantor ketransmigrasian penduduk. Itu langkah formal yang wajar diterapkan dalam suatu negara. Informalnya, setiap sebulan sekali saya mendapat kiriman dari orang tua sekitar 1 juta rupiah. Itu hanya untuk keperluan hidup sedangkan biaya pendidikan dan kostan lain lagi, rahasia ah..

Jika tidak mendapat kiriman saya biasa meminjam dari teman-teman, terutama teman yang berasal dari Timor Leste.

Pertanyaan terakhir, jika memilih kerja dimana? Indonesia atau Timor? Dan kalau disuruh memilih jadi warga negara mana?hehehe...

“Jahil juga ini pertanyaan”. Kalau di bandingkan jelas banyak kelebihan tinggal di Indonesia khususnya di bandung. Bisa dibilang saya sudah betah dan punya keinginan untuk menetap lebih lama disini. Untuk melamar pekerjaan pun begitu. Pekerjaan di sini lebih menjanjikan dengan fasilitas yang bagus. Tapi urusannya akan lain dengan status kewarganegaraan saya. Perlu pertimbangan moral dan tidak mudah untuk mengurus segala ‘atribut’ yang dipenuhi untuk menjadi warga negara Indonesia. Mudah-mudahan saja...

Tapi, dalam hati kecil saya berkata suatu hari saya kembali ke Timor Leste. Bagaimanapun situasinya Timor Leste tetap tanah kelahiran saya. Ilmu yang saya pelajari ingin saya bawa pulang sebagai bekal untuk memajukan negeri kami.

Ada salam perpisahan?

Fic a sim bom trabalho.

Artinya apaan tuch...?

Itu bahasa Portugis. Artinya Sampai disini saja.

Adeus Amigos.

Nah, itu apa lagi terjemahannya...?

Selamat bekerja, Semoga sukses.

Nama:huyogo
S1 Jurnalistik 2006
email & Fs: hugorepeat@yahoo.co.id

No comments: