slide show

Thursday, December 4, 2008

Pengembangan Pers Mahasiswa menjadi ‘Grassroot Journalism’

Berawal dari Workshop Peningkatan Kemampuan Manajemen dan Teknis Pengelola Media Kampus di Malang pada 21 Mei lalu, membawa angin segar bagi keanggotaan IMIKI (Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia). Tidak terkecuali bagi kampus Stikom Bandung yang turut menghadiri acara tersebut melalui pendelegasian kampus. Perlu dicermati bahwa pendelegasian ini bukan semata kunjungan seperti yang dilakukan ‘pejabat’ eksekutif maupun legislatif di lingkungan kampus yang banyak meniru pada pola oknum pejabat di lingkungan negara.

Singkat kata inilah oleh-oleh yang saya dapatkan dan diupayakan ada bentuk nyata bagi kampus Stikom Bandung. Rumusan dalam workshop tersebut akhirnya memicu adanya gebrakan baru khususnya bidang Pers Mahasiswa yang kian hari hilang keberadaannya, contohnya “punggawa Gerbang yang hilang”. Tersinggung? Itu ungkapan yang rasanya tak berlebihan mengingat Gerbang pernah menapaki karir sebagai “PERS KAMPUS YANG SEBENARNYA” di antara sederet pers kampus lain di Bandung. Tidak salah jika mengenang saat-saat kejayaan Gerbang dimana kampus saat itu masih di jalan Wartawan atau Lodaya (mungkin bagi sebagian punggawa Gerbang yang saat ini sudah bekerja merasakan hal ini) – namun demikian perlu motivasi baru untuk menunjukkan rupa pers mahasiswa yang dinamis saat ini.

Henri Subiakto (stak Menkominfo) yang menjadi pemateri dalam acara workshop mengungkapkan bahwa “pers mahasiswa terlalu kuno dan segeralah berubah”. Pers yang dimaksud adalah pers komunitas kampus. “Perkembangan media dan teknologi telah memunculkan pergeseran pengertian wartawan,” ungkap Henri. Pernyataan tersebut menimbulkan tanda tanya besar seperti apa wajah reportase saat ini?

Jawabannya ada pada Grassroots Journalism yang artinya setiap warga bisa melaporkan peristiwa kepada media. Istilah lainnya adalah citizen pasticipatory atau open source journalism. Alasan terbentuknya Grassroots Journalism antara lain karena:

- media tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat

- banyak persoalan masyarakat, persoalan publik, persoalan lokal, tidak terakomodasi dalam media utama

- berita tidak harus selalu memiliki skala dunia atau nasional, cukup dengan kejadian di sekitar kita, komunitas kita, tetangga kita, juga merupakan berita yang menarik

- banyak berita tidak tercover media, tapi mampu dikabarkan dengan baik oleh warga yang kebetulan berada di tempat itu

Bagi mahasiswa komunikasi, peran Grassroots Jornalism di lingkungan kampus mampu membangkitkan moril kesederhanaan yang selama ini kurang dipahami. Artinya, di sekitar kampus banyak peristiwa yang bisa di informasikan pada masyarakat kampus. Lantas, bagaimana dengan media nya? Saat ini pers mahasiswa selalu kelimpungan mencari pendanaan cetak (lembaga ogah-ogahan membiayai atau tidak ada sumber dari iklan). Padahal banyak space/ruang terbuka seperti mading, traktat bahkan yang berkembang saat ini blog melalui media internet.

Akan tetapi Grassroots Journalism tidak akan pernah berkembang jika tidak dimulai dengan perubahan. Mahasiswa saat ini sering dilontarkan dengan kalimat-kalimat peyoratif. Celaan bermunculan jika mahasiswa hanya mampu KKN (Kuliah, Kumpul, Nongkrong) di sisi lain celaan bahwa mahasiswa hanya pintar bikin rusuh saat demonstrasi. Saat celaan tersebut muncul justru mahasiswa yang lain mengamini sebagian pernyataan yang kebanyakan tercover media konvensional (umum). Hampir tidak ada media yang mampu menandingi bahwa ada mahasiswa di kampus dengan prestasi juara olimpiade atau tuntutan mahasiswa berdemonstrasi dikarenakan kebijakan yang timpang. Berita yang dianggap sepele di kampus, misalkan kenaikan harga SPP, jika diberitkan dengan benar akan menarik perhatian kampus. “Tidak perlu ngeyel bercerita tantang anti-politikus sampai mulut berbusa”.

Inilah mengapa Grassroots Jurnalism hadir karena adanya kemauan. Logika yang salah jika medianya tidak ada maka jangan jadi jurnalis, yang benar adalah punya kemauan maka tak perlu jadi wartawan sekalipun asalkan mampu membuat media sendiri itu baru namanya jurnalis (Grassroots Media). Sekali lagi, oleh-oleh ini disampaikan pada masyarakat kampus khususnya mahasiswa yang berperan sebagai ‘agent of change’.


Oleh: Hugo Simbolon

No comments: